Catatan Fakhruddin Halim
Pemimpin Redaksi suarabangka.com
TEKNOLOGI itu penting dalam membantu manusia memudahkan pekerjaan. Itu jika tepat guna. Sebaliknya menyusahkan jika tidak tepat guna dan gagap mengoperasionalkannya.
Dua pekan ini saya menjadwalkan wawancara salah satu tokoh penting nasional. Diawali mencari nomor kontaknya. Mengirimkan permohonan wawancara via zoom atau tertulis.
Outline-nya pun saya kirim agar mudah dipelajari dan dipahami maksud dan tema wawancara.
Semuanya saya kirim lewat WhatsApp. Pesan dibaca. Tapi tiada respon. Saya pun bersabar menunggu. Mencoba menelepon, tapi tidak diangkat.
Saya berfikir beliau sedang sangat sibuk. Beberapa hari kemudian saya kirim lagi pesan apakah beliau bersedia untuk diwawancarai untuk Majalah baru yang akan terbit.
Pesan terbaca, namun tidak ada respon. Saya pun mencoba mencari alternatif narasumber, tokoh penting lainnya.
Saya kirim pesan lewat WhatsApp. Pesan terbaca, tapi tidak direspon atau setidaknya belum direspon.
Ini cukup menggelisahkan dan memacu adrenalin menjelang deadline, sekaligus menantang membuat bersemangat.
Beberapa kawan di Jakarta saya hubungi. Jawabnya sama, barangkali lagi sibuk, atau beliau – beliau masih sakit.
Seorang pengamat ekonomi pun belum memberi jadwal fix kapan bisa diwawancara meski sebelumnya bersedia.
Maklum, sebagian narasumber ada di seputaran Jakarta dan di beberapa kota. Kondisi Pandemi belum memungkinkan leluasa bergerak. Semua by phone, WA, dan zoom.
Kopi baru setengah gelas saya teguk. Pagi ini memang janjian ketemu seorang kawan di salah satu Warkop.
Pesan masuk di WhatsApp. Tokoh yang dua pekan ini saya tunggu mengirimkan pesan.
“Wawancaranya sekarang ya, lewat telepon,” tulisnya, pendek.
Saya tidak mungkin melakukannya dari Warkop. Suara kendaraan lalu – lalang akan sangat mengganggu.
Secepat kilat saya pacu sepeda motor pulang. Sesampai di rumah saya ambil headset.
Saya setel dan wawancara pun berlangsung. Wawancara itu saya rekam melalui aplikasi di handphone.
Hampir satu jam berlangsung. Selesai, saya merasa puas. Jawaban – jawaban bernas itu meluncur tanpa ragu.
Saya putar ulang, yang terdengar hanya suara saya. Iya hanya suara saya! Suara tokoh tadi tidak terdengar.
Jantung saya sepertinya terhenti. Saya coba lagi, coba lagi, hasilnya sama. Saya mengingat. Ketika zoom saya pakai headshet, alur diskusi terekam dengan baik.
Beberapa narasumber lainnya via zoom, saya pakai headset, suara rekaman terdengar jelas, bahkan helaan nafas pun jelas.
Lalu mengapa kali ini hanya suara saya? Rupanya, ketika zoom benar saya pakai headset, tapi yang merekam bukan saya, tapi admin zoom.
Kali ini teknologi rasanya menyusahkan saja. Menyesal saya pakai headset. Padahal sayalah yang salah karena kurang membaca dengan baik. Kurang teliti dan malu bertanya.
Lalu? Cukup panik juga. Cuma saya teringat Karny Ilyas. Wartawan senior satu itu, cukup anti dengan alat perekam.
Dalam bukunya, “Karny Ilyas, Lahir untuk Berita”. Berjam-jam dia melakukan wawancara sangat jarang menggunakan alat perekam seperti tape recorder. Dia hanya menyimak dengan baik dan beberapa data penting dia tulis.
Maka tak heran ingatannya menjadi kuat.
Mengandalkan ingatan itu jauh lebih baik, dan harus terus dilatih. Imajinasi daya ledaknya jauh lebih dahsyat.
Mewawancara tidak lebih dari upaya mengingatkan kembali atas apa yang dipikirkan.
Jadi dihadapan Karny teknologi alat perekam nyaris tidak berguna.
Wartawan senior Rosihan Anwar sampai wafat tetap menggunakan mesin ketik untuk melahirkan karya – karya memikatnya. Meski zaman sudah berganti dengan komputer dan laptop. Suara detak mesin ketik menjadi irama yang membangkitkan imajinasi.
Begitu pula Emha Ainun Najib atau Cak Nun. Setiap ia mengetik menggunakan mesik ketik, kertas yang dipakai selalu berwana – warni.
Sebab, ia percaya setiap lembar kertas beda warna dapat membangkitkan imajinasi dan gairah.
Tentu saya bukan mereka para wartawan senior itu. Tapi cukup menghibur hati. Saya pun mencoba merekonstruksi wawancara tadi dengan membangkitkan gairah imajinasi.
Hasilnya? “Tidak mengecewakan,” kata salah seorang kawan yang saya kirimi naskahnya. (*)
Ketika Imajinasi Itu Penting, Wartawan Jangan Terlalu Mengandalkan Perekam
