” Tribute to Hamidah “, Upaya Mengingat Hamidah yang Dilupakan di Kampung Sendiri

Muntok – Sungguh berat rasa berpisah

‘Ninggalkan kekasih berusuh hati,

Duduk berdiri sama gelisah

Ke mana hiburan akan dicari….

Puisi berjudul ” Berpisah ” karya Hamidah ini mengalun dalam lantunan musik akustik yang ditampilkan Komite Musik Dewan Kesenian Bangka Barat dalam gelaran acara Musik Bulanan Resonansi di Museum Timah, Muntok, Sabtu ( 29/6/2019 ) malam.

Aurora sebagai band utama yang tampil dalam acara ini, juga menyisipkan satu puisi karya Hamidah di sela lagu yang mereka mainkan.

Sejalan dengan tema ” Tribute to Hamidah “, pagelaran musik bulanan yang digagas Komite Musik Dewan Kesenian Bangka Barat kali ini mencoba mengangkat dan mengingat kembali sosok penulis wanita angkatan Pujangga Baru yang cukup terkenal kelahiran Kampung Tanjung, Muntok, Fatimah Hasan Delais yang dikenal dengan nama pena, Hamidah.

Untuk memperkuat tema, di sisi kiri panggung dipajang cover dari novel ” Kehilangan Mestika ” karya Hamidah yang cukup laris dan populer pada masanya.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno, tema ” ” Tribute to Hamidah ” berangkat dari rasa keprihatinan, karena di kampungnya sendiri, Muntok, nama Hamidah dan karyanya telah hampir terlupakan, tidak ada jejak apapun untuk mengingat sosok sang penulis, baik diabadikan sebagai nama jalan maupun nama gedung.

” Kita coba mengingatkan kembali tentang sosok Hamidah yang asli Muntok, orang Kampung Tanjung yang sebenarnya punya jasa, punya jejak yang berarti untuk dijadikan sebagai panutan,” ujar pria yang akrab dipanggil Seno ini.

Meskipun diakui Seno, untuk mengabadikan nama Hamidah menjadi nama jalan tidak dapat dilakukan sembarangan, namun bila nama sang penulis dijadikan nama gedung pertemuan atau perpustakaan di SD dan SMP, hal itu merupakan upaya yang baik untuk mengingatkan generasi muda tentang Hamidah.

” Itu gerakan yang bagus untuk mengingatkan generasi muda supaya tidak lupa dengan jati diri , orang kampungnya sendiri, orang lokal sendiri.
Sebenarnya kalau hanya nama gedung, jalan itu kan cuma nama. Yang paling penting lebih dari itu ya semangatnya, yang sebenarnya harus ditiru,” tandasnya.

Seno melanjutkan, sebenarnya puisi Hamidah lebih cenderung ke seloka, yang terdiri dari empat baris pertama dan tiga baris isi. ” Jadi dua kali empat baris sama dua kali tiga baris, itu namanya seloka, mirip soneta,” imbuhnya.

Untuk mencari jejak karya Hamidah yang lain selain novel ” Kehilangan Mestika “, berdasarkan penelusuran Seno dan tim-nya, karya – karya tersebut banyak dimuat oleh H.B. Jassin ( penulis dan kritikus sastra angkatan Pujangga Baru, red ) di Balai Pustaka. Suami Hamidah, Hasan Delais mengirimkan puisi – puisi itu ke H.B Jassin.

” Hamidah masih punya anak yang di Palembang, anaknya ada tiga yang masih ada. Anaknya ada bercerita bahwa ayahnya, suami Hamidah, Hasan Delais, pernah mengirimkan surat – surat pada H.B. Jassin dan H.B. Jassin yang menerima puisi – puisi Hamidah untuk muat di Balai Pustaka,” ujar Seno. ( SK )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *