IJTI Serukan Aksi Bersama Tolak Pasal Ancam Kemerdekaan Pers di Revisi UU Penyiaran

HEADLINE, NASIONAL330 Dilihat

JAKARTA — Rancangan Undang – Undang tentang Penyiaran terus menuai kritik. Sejumlah pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers. Meski muncul penolakan, pembahasan Rancangan Undang-undang tetap berjalan.

” Draft itu belum pernah dibahas dalam Komisi I DPR, baru diharmonisasi di Baleg,” kata anggota Komisi I DPR Dave Laksono.

Harmonisasi yang dimaksud adalah pemeriksaan terkait ada tidaknya pasal yang bertentangan dengan undang-undang lain.

“Pembahasan belum masuk kemana mana. Semangatnya tidak membredel pembatasan akses informasi, justru menguatkan dunia penyiaran,” kata Dave saat menjadi narasumber dalam Diskusi Publik, Menyoal Revisi UU Penyiaran Yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers, yang diselenggarakan IJTI di Hall Dewan Pers Jakarta, Rabu (15/5).

Salah satu pasal yang menuai protes, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Sedangkan liputan investigasi dan eksklusif menjadi mahkotanya jurnalis, karena hasil liputan yang mendalam, membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan, larangan untuk menyiarkan liputan investigasi dan eksklusif tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Ada yang toxic terhadap kebebasan pers. Kita belum tau siapa yang memasukan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers,” katanya.

Yadi menjelaskan, upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007. Dan upaya tersebut terus berlangsung hingga RUU KUHP tahun 2024.

“Datanya memang ada. Intervensi terhadap kemerdekaan pers terus berlangsung,” katanya menambahkan.

Sementara pemerhati media, Wina Armada mempertanyakan inisiator pembungkaman kemerdekaan pers dengan memasukan pasal kontroversi dalam revisi undang-undang penyiaran.

“Ini undang – undang yang penuh paradaox dan kacau balau,” katanya.

Menurutnya draft rancangan undang-undang penyiaran yang beredar luas itu menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers.

“Ini lebih buruk dari orde baru,” tukas dia menambahkan.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan mengatakan, DPR tidak terburu-buru untuk mengesahkan rancangan tersebut menjadi undang-undang.

“Ada beberapa pasal yang merugikan jurnalis. Jadi sikap kami adalah jangan sampai RUU ini disahkan terburu-buru,ā€¯katanya.

Kekhawatiran itu muncul karena masa jabatan anggota DPR akan berakhir 30 September 2024, dan rancangan undang-undang tersebut direncanakan akan selesai sebelum masa jabatan berakhir, dengan alasan agar tidak tertunda lagi. Rancangan undang-undang penyiaran sudah dibahas sejak 2013.

“Kalau buru-buru menyelesaikan, akibatnya akan sangat buruk dan yang paling terdampak adalah publik. Itu yang paling berbahaya,” sambung dia.

Herik menegaskan IJTI menolak pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang menghalangi tugas jurnalistik dan kemerdekaan pers. Aksi penolakan akan terus berlangsung hingga DPR mencabut pasal pasal yang merugikan tugas jurnalistik. ( Rilis )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *