Nugal, Tradisi Gotong – royong Menanam Padi yang Masih Lestari di Desa Pusuk

HEADLINE, RAGAM580 Dilihat

BANGKA BARAT — Tradisi Nugal di Desa Pusuk, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat sampai kini masih dilestarikan.

Nugal merupakan tradisi turun temurun warga Desa Pusuk, dilakukan dengan melibatkan orang dalam jumlah yang banyak. Nugal dilakukan setelah beberapa hari lahan selesai dibersihkan dengan cara dibakar.

Abu dari hasil pembakaran tersebut tidak dibuang, melainkan dijadikan sebagai pupuk alami yang dipercaya untuk menyuburkan tanah.

Nugal merupakan kearifan lokal masyarakat setempat yang masih dipertahankan dan sangat kental dengan semangat kebersamaan, solidaritas, kerja sama dan gotong – royong.



Alat nugal yang digunakan berupa kayu yang diruncingkan di salah satu ujungnya agar bisa ditancapkan ke tanah, sehingga tercipta lubang untuk ditaburi benih padi.

Di penghujung tahun 2024 ini, keluarga Asmawi di Desa Pusuk sudah dua kali nugal di ladang yang akan ditanami padi.

Sebelumnya, mereka nugal di ladang milik anak perempuan tertuanya. Kali ini mereka melakukannya lagi di ladang milik Asmawi sendiri.

Tidak ketinggalan berbagai macam makanan serta lauk pauk disiapkan untuk disantap bersama di ladang bersama sanak keluarga yang ikut bergotong – royong menanam padi.

Asmawi, laki – laki yang masih kuat dan sehat di usianya yang sudah menginjak angka 90 ini mengatakan, pekerjaan nugal sudah ia lakukan sejak jaman Jepang.

Di Desa Pusuk sendiri, nugal biasanya menggunakan dua batang kayu berupa tongkat panjang yang ujungnya runcing.



“Di sini biasanya kita menggunakan dua batang kayu untuk nugal. Tapi ada juga nugal menggunakan satu batang kayu,” kata Asmawi, ” Sabtu ( 20/9/2024 ).

Para laki – laki bertugas membuat lubang menggunakan dua kayu, kaum wanita menebarkan benih padi pada lubang tersebut.

“Padi ini dak susah. Walaupun tidak disiram dia akan tumbuh. Tidak seperti tanaman lain seperti cabe atau semangka yang harus selalu disiram,” kata Asmawi.

Salam, salah seorang anak laki – laki Asmawi mengatakan, padi yang ditanam adalah jenis padi balok, warna berasnya putih agak kemerahan dan sangat familiar di Pulau Bangka.

“Ini jenis padinya namanya padi balok. Setelah ditanam nanti bisa dipanen dalam waktu kurang lebih tiga bulan setengah,” kata Salam.

Menurut Salam, ladang darat ini tidak membutuhkan pengairan seperti persawahan. Sebab, air untuk varietas ini hanya memanfaatkan curah hujan.

“Tidak memakai pengairan hanya air hujan saja. Tapi kalau pupuk ya kita pakai, tetap harus dipupuk,” ujarnya.

Dari satu hektare lebih lahan yang ditanami padi, biasanya akan menghasilkan beras yang cukup lumayan.

Namun menurut Asmawi padi hasil panen ladangnya tidak untuk dijual, tapi untuk konsumsi keluarganya sendiri.

“Beras balok ini kurang diminati, tidak seperti beras merah yang banyak disukai orang. Jadi hasilnya buat kita makan sendiri,” ucapnya.

Dia menambahkan, setelah padi dipanen, lahannya akan digunakan untuk menanam sawit. Tapi bila tiba musim menanam padi, lahan yang sama masih bisa digunakan untuk ditanami padi lagi. ( SK )


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *